Jagung Hibrida , Komoditas Andalan Sulawesi Selatan

Selain Bisa Bertongkol Dua, Jagung BISI-2 juga Mempunyai Rendemen Paling Tinggi


Komoditas jagung saat ini telah menjadi salah satu komoditas yang strategis. Meskipun masyakarat Indonesia pada umumnya mengkonsumsi jagung bukan sebagai makanan pokok, namun permintaan terhadap komoditas ini menunjukkan adanya peningkatan. Peningkatan permintaan tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya permintaan jagung untuk kebutuhan bahan pangan, sebagai bahan baku industri maupun pakan ternak. Hal ini menunjukkan adanya implikasi bahwa komoditas jagung kini memiliki peranan yang sangat penting.

Berbagai usaha dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan jagung nasional baik itu secara intensifikasi maupun ekstensifikasi misalnya dengan program GEMA PALAGUNG yang lalu atau program-program lainnya. Namun masih saja kebutuhan jagung secara nasional belum bisa terpenuhi. Hal ini dapat dilihat dari masih besarnya impor jagung yang dilakukan negara Indonesia.

Sulawesi Selatan sebagai salah satu wilayah potensial jagung selain pulau Jawa dan Sumatera, kini telah menjadi salah satu target pengembangan jagung di Indonesia Bagian Timur. Dari total potensi pengembangan sebesar 400.000 Ha yang tersebar di sembilan kabupaten, menunjukkan rata-rata produksitifitas hanya sebesar 1.8 ton/Ha. Padahal program pemerintah menetapkan produksi nasional rata-rata adalah 5 ton/Ha. Itu berarti angka yang dicapai Propinsi Sulawesi Selatan sebagai daerah pengembangan jagung masih mempunyai produktifitas yang masih rendah dan perlu ditingkatkan.

Dari indikasi yang ada dapatlah dikatakan bahwa tingkat produksi dan perkembangan jagung di Sulsel relatif masih lambat. Perkembangan produksi yang lambat ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya : (1) kurangnya sarana penunjang berupa modal bagi petani (2) Belum merata dan meluasnya penggunaan benih jagung unggul /bermutu di kalangan petani, (3) Masih rendahnya pengetahuan di tingkat petani baik berupa aspek budidaya maupun pascapanennya, dan terakhir (4) Belum adanya pabrik pakan ternak standart seperti PT. Charoen Pokphand Indonesia di wilayah Sulsel yang menyebabkan selisih harga yang tidak signifikan antara kota Makassar dengan Jakarta maupun Surabaya.

Walaupun angka rata-rata produktifitas menunjukkan tingkat produksi jagung yang masih rendah, namun bukan berarti secara umum di seluruh wilayah Sulsel juga rendah. Hal itu tidak berlaku bagi tiga dari sembilan kabupaten penghasil jagung utama yaitu Gowa, Jeneponto dan Bantaeng dimana pada tiga kabupaten tersebut ternyata tanaman jagung petani dapat mencapai produktifitas sekitar 6-10 ton/Ha. Tingginya angka rata-rata produktifitas di tiga kabupaten tersebut tidak terlepas dari peran penggunaan benih jagung hibrida BISI-2 yang mampu berproduksi tinggi. Dengan tehnik budidaya yang tepat sesuai anjuran, jagung BISI-2 mampu berproduksi secara maksimal.

Bila kita kalkulasikan dengan menggunakan harga terendah yaitu Rp. 700 - 800/kg saja, maka bila rata-rata produksi bisa mencapai 7 – 8 ton berarti petani sudah bisa meraih keuntungan sebesar + Rp. 2.000.000,- dalam jangka waktu tiga bulan. Padahal jagung BISI – 2 sebenarnya bisa mencapai 12 ton/ha. Keuntungan tersebut akan bertambah bila budidaya dilakukan lebih dari 1 hektar. Dengan tingkat kepemilikan lahan lebih dari 1 ha bahkan ada yang mencapai puluhan hektar, tidaklah mengherankan bila banyak petani Sulsel yang menunaikan ibadah haji setiap tahunnya berkat kesuksesan menggunakan benih jagung BISI-2. Hal ini merupakan suatu langkah maju bagi pengembangan jagung di Sulawesi Selatan.

Tabel 1. Data Luas Tanam dan produksi (Ton/ha) pada Sembilan Kabupaten Utama di Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000

Kabupaten

Tanam (ha)

Rusak (ha)

Produksi (ton)

Rata-rata Hasil (ton)

Gowa
Takalar
Jeneponto
Bantaeng
Bulukumba
Sinjai
Bone
Soppeng
Wajo

25.000
2.780
32.605
40.586
36.609
13.156
101.943
11.104
5.317

14
-
2.246
7
900
42
144
1.123
774

55.443
7.317
41.278
87.001
61.989
30.052
192.807
16.309
16.026

2.21
2.63
1.26
2.14
1.72
2.28
1.89
1.46
3.04

Total

268.920

5.450

496.212

1.84


Tabel 2. Pelabuhan Laut dan Kapasitas Muat Kapal di Sulsel dan Harga Eceran Jagung Pipilan Januari - Mei 2001

Kota

Nama Pelabuhan

Reguler

Kapasitas Kapal (ton)

Ekspedisi

Makassar
Gorontalo
Palu

Sukarno-Hatta
Gorontalo
Pantoloan

tiap 3 hari
tiap 7 hari
tiap 7 hari

5.000-10.000
5.000-10.000
5.000-10.000

PT.MIF/CARAKA
PT.CARAKA/TANTO
PT.MIF

Harga Jagung Pipilan Bulan Januari-Mei 2001 di Kota Makassar

BULAN

HARGA/Kg

KADAR AIR

Januari
Pebruari
Maret
April
Mei

Rp. 800,-
Rp. 850,- sampai Rp. 900,-
Rp. 900,- sampai Rp. 1.000,-
Rp. 1.000,- sampai Rp. 1.200,-
Rp. 1.250,-

± 18%
± 18%
± 18%
± 18%
± 18%


Tabel 3. Perusahan Pemilik Dryer (Alat Pengering Jagung) yang Tersebar di Wilayah Sulawesi Selatan

No.

Nama Perusahaan
(Pimpinan)

Jumlah Alat dan Kapasitasnya

Letak Lokasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

PT. Dharma Agrifood (Bp. Jonathan)
PT. Sungai Budi (Bp. Tansil)
PT. Uma Pelita Abadi (Bp. Alex Warauw)
PUSKUD HASANUDDIN
UD.
Ohio
PT. SAUT (Bp. Panca)
PT. Tunas Jaya (Bp. Kiu Hok)
PT. Teluk Intan (Bp. Suhadi)
PT. Sungai Budi

2 buah (100 ton/hari)
1 buah (100 ton/hari)
1 buah (100 ton/hari)
1 buah (20 ton/hari)
1 buah (50 ton/hari)
1 buah (50 ton/hari)
1 buah (50 ton/hari)
1 buah (50 ton/hari)
1 buah (50 ton/hari)

Makassar
Makassar
Makassar
Makassar
Makassar
Makassar
Makassar
Makassar
Gorontalo

Analisa dan Proyeksi ke Depan

Mengacu pada data luas tanam dan produksi jagung kuning di sembilan kabupetan sebagai barometer potensial jagung Sulsel tahun 1999 – 2000, dapat dikatakan bahwa bahwa untuk mengatasi besarnya impor jagung yang mencapai 1 –1.2 juta Ton tersebut bukanlah suatu hal yang mustahil. Tentu saja hal ini harus mempertimbangkan dukungan sarana, prasarana maupun infrastruktur yang memadai serta didukung pula dengan pengelolaan budidaya yang baik dan tepat. Bila kita mengambil standar produksi rata-rata nasional yaitu sebesar 5 ton/Ha, maka dengan luas tanam potensial sebesar 268.920 Ha akan diperoleh hasil produksi sebesar 1.344.600 Ton, yang berarti dapat mengatasi/ mampu memenuhi kebutuhan impor jagung tahun ini.

Hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang peningkatan produksi jagung di Sulsel masih cukup besar dan berpotensi. Potensi area yang besar ini merupakan modal utama untuk mendorong peningkatan produksi. Untuk lebih mengoptimalkan peluang tersebut perlu dilakukan pola tanam berdasarkan jadwal tanam yang menunjukkan bahwa musim Oktober-Januari areal yang ditanami jagung sebesar 70% , sedangkan periode musim kemarau I Maret – Mei sekitar 20% dan MK II sekitar Juni – September sekitar 10% dari total luasan tanam dalam setahun.

Namun, perlu disadari pula bahwa serapan hasil produksi jagung lokal ternyata masih kecil bagi kebutuhan industri lainnya. Hal ini disebabkan masih rendahnya kualitas atau mutu dari standart yang diinginkan atau ditetapkan industri pakan ternak. Bila kita menggunakan benih jagung yang berasal dari benih unggul yang juga diikuti teknik budidaya yang tepat, maka bukan tidak mungkin serapan produksi lokal jagung kita akan semakin besar.

Hal lain yang mendukung usaha peningkatan produksi jagung yaitu bahwa perusahaan-perusahaan benih dari tahun ke tahun selalu menyiapkan dan memperbaiki mutu benih (hibrida) dan berusaha untuk mempermudah pasokannya ke setiap toko-toko/agen setempat. Salah satunya adalah PT. Tanindo Subur Prima dengan produknya benih jagung hibrida BISI – 2 cap Kapal Terbang. Penggunaan benih jagung hibrida yang unggul serta bermutu di beberapa wilayah menunjukkan adanya kesadaran di tingkat petani bahwa penggunaan benih hibrida merupakan syarat utama dalam upaya meningkatkan produksi.

Dalam rangka meningkatkan kesadaran guna peningkatan produksi serta kualitas jagung di tingkat petani, kegiatan penyuluhan-penyuluhan dan perbaikan sarana maupun prasarana yang menunjang perlu terus digalakkan. Termasuk salah satunya adalah dengan menanamkan prinsip bahwa kecenderungan industri pakan ternak lebih tertarik dengan bahan baku jagung yang berasal dari produksi lokal karena lebih segar agar dapat memotivasi mereka dalam meningkatkan produksinya.

Dengan makin meluasnya areal penanaman jagung hibrida yang diikuti peningkatan produksi menjadi 6 – 10 ton/Ha, dapat diprediksikan bahwa sampai akhir tahun 2004 nanti penggunaan benih jagung hibrida di Sulawesi Selatan dapat mencapai luasan 100.000 Ha, artinya disini kita menggunakan pasar efektif sebesar 25% dari total potensi luas areal penanaman. Bila hal itu tercapai maka sasaran dan tujuan kita dalam rangka meningkatkan produski jagung untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat terwujud.

Permasalahan dan Arus Kebijakan Operasional

Walaupun peluang peningkatan produksi jagung di propinsi Sulawesi Selatan cukup besar, namun tantangan dan permasalahan yang perlu dipikirkan solusinya diantaranya :

1. Lemahnya Sarana Permodalan yang dimiliki petani serta didukung dengan kurangnya jiwa bisnis pada diri petani

2. Kurangnya pengetahuan di tingkat petani akan teknologi budidaya serta pascapanennya yang diimpliksikan dengan masih banyaknya penggunaan benih lokal maupun turunan yang masih besar.

3. Pemasaran hasil merupakan permasalahan utama yang menyebabkan petani ragu-ragu dalam melaksanakan program intensifikasi secara padat modal. Pemasaran yang tidak jelas seperti rendahnya harga yang diterima petani akibat panen raya maupun ketidaksesuaian jagung yang diproduksi dengan standar industri pakan ternak merupakan permasalahan yang sangat serius. Biasanya ketidaksesuaian standar tersebut disebabkan panen raya jatuh pada bulan dengan curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan tingginya kadar air jagung.

4. Sampai saat ini belum terjalin sistem kemitraan yang berkelanjutan antara pelaku bisnis dengan petani seperti petani dengan mitra media, serta antara mitra media dengan industri pakan ternak maupun antara petani dengan industri benih. Kurang adanya kejelasan (transparansi) dari mekanisme kemitraan yang dijalankan yang terkadang merugikan pihak petani menyebabkan banyak petani yang trauma sehingga pola kemitraan itu sendiri menjadi sulit berkembang.

5. Tidak tersedianya alat pengering (dryer) dilokasi sentra produksi. Umumnya kolektor besar yang mempunyai dryer berkedudukan di ibukota propinsi sehingga memperpanjang rantai pemasaran.

Untuk menjawab beberapa tantangan tersebut di atas perlu ditumbuhkan iklim kerja sama yang transparan dan saling menguntungkan antara petani, produsen benih, pedagang pengumpul, dan pengusaha pakan ternak. Agar iklim kerja sama ini dapat berkelanjutan maka perlu adanya pengembangan sistem pola kemitraan agribisnis dan saling menguntungkan satu sama lain. Sistem kemitraan tersebut harus didukung dengan manajemen/pengelolaan yang baik oleh setiap unsur-unsur seperti subsistem saprodi (pengadaan benih maupun pupuk dan pestisida), subsistem usahatani, subsistem pascapanen (agroindustri) dan subsistem pemasaran.

Disini diperlukan adanya peranan pembina (pemerintah dan instansi terkait) seperti Diperta dan jajarannya, Perbankan, maupun Koperasi sehingga subsistem yang terkait bisa menjalankan fungsinya secara baik. Adanya proyek-proyek terobosan yang melibatkan pemerintah dan daerah akan sangat besar dampaknya, misalnya dengan pengadaan mesin dryer di daerah sulsel akan sangat membantu petani dalam hal penanganan pasca panen.

Berdasarkan uraian diatas maka pada prinsipnya upaya pengembangan jagung dalam rangka memenuhi kebutuhan jagung nasional khususnya di wilayah Sulsel masih terbuka lebar, apalagi bila ditunjang dengan penggunaan benih bermutu, pengadaan saprodi yang tepat, penanganan pascapanen sesuai standar dan kebijakan pemda yang berpihak kepada petani. Penanganan budidaya jagung melalui peningkatan pengetahuan petani serta upaya-upaya lain yang membantu mengembangkan produksi jagung di Sulsel secara langsung akan mengatasi permasalahan yang ada. Mudah-mudahan tulisan yang sederhana ini membawa manfaat kepada percepatan pengembangan jagung hibrida di Sulawesi Selatan yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani.

(Ir. Menas Tjionger’S, MS. penulis adalah pemerhati perhatian yang berdomisili di Makassar)

Source : Abdi Tani

Cari Untung di Bisnis Jagung

Asteria

(pb3.info)

INILAH.COM, Jakarta – Pengembangan bioethanol membuat sejumlah komoditas jadi primadona. Salah satunya jagung. Pasarnya kian meluas. Tak heran, banyak pihak swasta menyatakan minat berinvestasi dengan membuka areal penanaman di beberapa daerah.

Tak percaya? Dengarlah suara Adhie Widiarto, Market Development Manager PT Dupont Indonesia, produsen benih jagung hibrida. Menurutnya, pihaknya mendapat banyak tawaran kerja sama mengelola lahan jagung dalam skala luas.

"Sejumlah pengusaha telah menyatakan minatnya untuk melakukan investasi di sektor agribisnis jagung. Investasi di bidang ini sangat menguntungkan saat ini," katanya di sela panen perdana jagung hibrida P21 di Kawasan Industri Pupuk Kujang di Kabupaten Karawang Jawa Barat, Sabtu (12/7).

Adhie enggan menyebut pengusaha yang berminat. Dia hanya mengungkapkan beberapa wilayah yang dilirik swasta untuk pengembangan jagung. Wilayah itu antara lain Merauke, Papua, seluas 153 ribu hektar dari potensi lahan 300 ribu hektar. Juga Sumatera Utara (15 ribu hektar), Riau (7 ribu hektar), Kalimantan (22 ribu hektar), dan Sulawesi (50 ribu hektar).

Sementara Direktur Utama PT APB, Omay K Wiraatmadja menyatakan kesiapannya mengembangkan usaha pertanaman jagung di areal seluas 1.000 hektar khusus untuk Jawa Barat dalam dua tahun mendatang. Pertimbangannya, provinsi tersebut belum optimal produksi jagungnya dibanding Jateng dan Jatim.

“Pengembangan areal seluas itu akan dilakukan secara bertahap. Pada awalnya seluas 100 ha, kemudian setiap enam bulan dilakukan peningkatan sekitar 100 ha,” ujarnya.

Pengembangan lahan jagung itu akan dilakukan secara inti maupun plasma, yakni dengan bekerjasama dengan petani. PT APB akan menanggung sarana produksi seperti pupuk, benih, dan menjamin pembelian hasil panen petani.

“Harga jagung di dalam negeri saat ini dalam kondisi yang baik yakni mencapai Rp 3.600/kg pipilan kering, naik dibanding tahun lalu yang hanya Rp 2.200/kg atau sekitar Rp 800 ribu/ton jagung tongkol dari Januari 2008 yang masih Rp 650 ribu/ton jagung tongkol,” kata Omay yang juga Mantan Dirut PT Pupuk Kujang itu.

Ketertarikan para pengusaha swasta itu tidak lepas dari lonjakan harga jagung di pasar internsional. Hal itu disebabkan tingginya permintaan jagung akibat penggunaan energi alternatif biofuel di negara-negara maju.

Dirjen Tanaman Pangan Departemen Sutarto Alimoeso mengatakan, hingga 2017 harga jagung akan bertahan pada tingkatan yang mahal sehingga merupakan kondisi yang tepat untuk mengembangkan komoditas jagung di dalam negeri. Harga jagung impor sudah menembus US$ 303 per ton. Ditambah bea masuk 5%, harga jagung di Tanah Air menjadi Rp 3.000-Rp 3.100 per kg. Adapun harga jagung lokal saat ini berkisar Rp 2.300-Rp 2.900 per kg.

Menurut data Departemen Pertanian AS, pertumbuhan konsumsi jagung dunia lima tahun terakhir mencapai 2,7% atau melampaui tingkat pertumbuhan produksi sekitar 1,7%. Hal itu dipicu tingginya permintaan jagung sebagai bahan baku bioethanol di AS, Uni Eropa, dan China. Selain itu, juga karena meningkatnya kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan ternak dan industri makanan.

Wajar saja bila jagung menjadi rebutan sehingga harganya melambung. Menurut data USDA April lalu, stok jagung dunia hanya 99 juta ton, angka terendah sejak 1983. Tahun ini, produksi jagung dunia ditaksir 778 juta ton. Sedangkan kebutuhannya diperkirakan mencapai 788 juta ton.

Sekjen Asosiasi Perusakan Pakan Indonesia (GPMT), Fenni Firman Gunadi mengatakan, pabrik pakan nasional membutuhkan 350 ribu ton jagung per bulan. Namun, karena pasokan jagung dari petani belum bisa kontinyu, terkait penanaman dan panen jagung berlangsung musiman, pabrikan selalu melakukan impor. Pada 2005, Indonesia impor jagung 400 ribu ton, tahun 2006 1,7 juta ton. Meski tahun 2007 turun menjadi 670 ribu ton, tahun ini pabrik pakan diperkirakan butuh pasokan 3,8 juta ton.

“Kurun Januari-April, belum ada pabrik pakan yang mengimpor jagung. Sebab pasokan lokal masih mencukupi. Namun dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, di bulan Mei, Juni, dan Oktober jagung impor masuk. Sebab pada bulan itulah pasokan dari lokal kosong,” urai Fenni.

Permasalahannya adalah saat ini impor lebih sulit, karena pasokannya seret. Amerika, Brasil dan China sebagai sumber jagung sudah menjadi rebutan dunia. Paling bisa mendatangkan dari India. Hanya saja, kualitas jagung India belum pernah menonjol.

“Seharusnya Indonesia sudah swasembada jagung sehingga tidak perlu repot impor,” keluh Fenni. [I4]

Source : inilah.com

Penggunaan Benih Jagung Hibrida di Indonesia Masih Rendah

JAKARTA, RABU - Komoditas jagung yang terus mengalami perluasan pasar berpotensi menjadi komoditas unggulan bagi petani. Meski demikian, peningkatan produktivitas dan perluasan lahan jagung di Indonesia belum optimal, sedangkan penggunaan benih jagung unggulan masih rendah.

Kepala Bagian Pengembangan Pasar PT Bisi International Tbk Doddy Wiratmoko, di Jakarta, Rabu (2/7), mengemukakan, harga jagung di dunia terus mengalami kenaikan karena kebutuhan yang meningkat. Akhir Juni lalu, harga jagung sudah melampaui Rp 2.800 per kg.

Data dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, mencatat, pertumbuhan konsumsi jagung dunia dalam lima tahun terakhir mencapai 2,7 persen atau melampaui tingkat pertumbuhan produksi yang hanya 1,7 persen. Hal itu antara lain dipicu oleh tingginya permintaan jagung sebagai bahan baku bioethanol di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan China. Selain itu, kebutuhan jagung sebagai bahan baku pakan ternak dan industri makanan.

Meski demikian, peluang pasar komoditas jagung itu belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. Peningkatan produktivitas belum optimal, dan petani masih mengandalkan benih jagung lokal yang kapasitas produksinya tidak optimal.

Dibandingkan negara-negara di Asia, penggunaan benih jagung hibrida di Indonesia masih cukup rendah, yaitu 43,7 persen. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Dep artemen Pertanian, program penggunaan benih padi hibrida nasional tahun 2007 baru seluas 135.000 hektar .

Di Thailand, penggunaan benih jagung hibrida mencapai 95 persen dari total lahan, sedangkan Di Filipina, penggunaan benih jagung hibrida mencapai 60 persen dari luas tanam.

Doddy mengatakan, kapasitas produksi jagung hibrida mencapai 10 ton per hektar, atau dua kali lipat produksi dari benih lokal yaitu 5 ton per hektar. Meski demikian, petani cenderung memilih benih lokal untuk menghindari risiko gagal panen, karena sebagian besar jagung ditanam di lahan kering.

"Pemakaian benih lokal tidak memerlukan biaya, sedangkan benih hibrida memakan biaya sekitar Rp 40.000 per kg, " katanya.

Doddy berpendapat, penanaman jagung hibrida tidak membutuhkan pasokan air yang rutin seperti padi. Tanaman jagung tidak harus dialiri setiap minggu, melainkan cukup dialiri dua minggu sekali dan tidak perlu diairi pada musim hujan.

Realisasi penyaluran bantuan langsung benih unggul atau BLBU untuk jagung hibrida hingga pekan ketiga Juni 2008 baru mencapai 187 ton (10,64 persen) dari target jagung hibrida 1.700 ton.

Source : kompas.com

Hati-hati !!! Tanam Jagung Pola tanam sistem Rotasi

Hati-hati !!!

Tanam Jagung

Pola tanam sistem Rotasi




Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan pokok kedua setelah padi. Meskipun bukan menjadi bahan pangan utama, namun dengan semakin meningkatnya industri peternakan yang mendorong peningkatan industri pakan ternak di Indoensia telah mendorong permintaan akan jagung semakin meningkat. Hal ini pula yang mendorong petani banyak mem-budidayakannya baik di lahan tegalan maupun lahan persawahan.

Hasil jagung akan mengalami penurunan apabila lahan ditanami jagung terus menerus tanpa dilakukan rotasi tanaman

Diperkirakan bahkwa sekitar 79 % pertanaman jagung di Indonesia diusahakan di lahan tegalan, selebihnya di lahan sawah dan lahan lainnya. Khusus untuk lahan tegalan dibeberapa tempat masih ada yang menggunakan lahan terus menerus selama setahun yaitu bulan april/mei, oktober/nopember dan juli/agustus untuk tanaman jagung . Tanpa disadari, pola tanam jagung secara terus menerus yang digunakan dalam satu lahan tersebut dapat menimbulkan permasalahan ke depannya. Misalnya, munculnya penyakit pada tanamna jagung, berkurangnya unsur hara dalam tanah serta menurunnya tingkat produktivitas yang ditunjukkan dengan hasil jagung yang semakin menurun.

Berdasarkan pengalaman dan hasil penelitian yang pernah dilakukan, mengungkapkan bahwa hasil jagung akan mengalami penurunan apabila lahan ditanami jagung terus menerus tanpa dilakukan pengiritirahatan atau juga dilakukan rotasi tanaman. Penurunan hasil ini ditenggarai akan tetap terjadi walaupun dilakukan pemupukan melebihi dosis, pengendalian hama dan penyakit serta pemberian air yang mencukupi dalam keadaan normal sekali pun.

Mengapa semua bisa terjadi? Penurunan hasil tersebut ternyata ada hubungannya dengan substansi yang aktif bertindak dalam allelopati (yang bersifat merusak/membunuh tanaman lain) yang diistilahkan dengan fitotoksi dari pelapukan sisa tanaman. Bertindaknya allelopati tersebut setelah tanaman atau bagian tanaman mengalami pelapukan, pembusukan, pencucian ataupun setelah dikeluarkan berupa eksudat maupun penguapan. Tanaman yang suseptibel bila terkena substansi tersebut akan mengalami gangguan berupa penghambatan pertumbuhan dan penurunan hasil. Fenomena ini menunjukkan bahwa lahan bekas tanaman jagung yang melalui proses biologis maupun kimia yang menghasilkan allelopati tersebut akan membahayakan bagi tanaman sejenis yang akan ditanam.

Terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan jagung yang ditanam pada lahan bekas yang ditanami jagung berturut-turut selama tiga kali atau lebih ternyata disebabkan pula oleh adanya cairan kimia seperti p-coumaric yang dihasilkan /dikeluarkan oleh sisa tanaman jagung sebelumnnya. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, adanya p-coumaric tersebut dapat menyebabkan berkurangnya perkecambahan biji sekaligus emnghambat pertumbuhan kecambah jagung. Akibatnya bibit jagung akan mati , daun menguning serta perakaran akan membusuk. Adapun kandungan p-coumaric terbesar berada pada bagian akarnya yaitu : 4127,8 ppm, sedangkan pada batang 828.96 ppm serta malai 358.22 pp. Semakin tinggi kandungan p-coumaricnya, semakin besar pula resiko tanaman jagung tersebut terhambat pertumbuhannya. Kandungan p-coumaric ternyata dapat ditinggalkan pada lahan oleh tanaman jagung, dimana pada lahan bekas tanaman jagung yang ditanam dua kali mengandung 380.30 ppm p-coumaric, apabila lahan tersebut ditanam tiga kali maka kandungannya menjadi 520.70 ppm. Bisa dibayangkan berapa banyak p-coumaric yang berada dalam tanah apabila lahan tersebut dilakukan penanaman jagung secara terus menerus tanpa rotasi ataupun diistirahatkan. Pengaruh sisa tanaman jagung tentu saja lebih menonjol pada bagian akar tanamannya karena hal ini erat kaitannya dengan adanya kontak langsung antara sisa tanaman dengan tanaman berikutnya.

Dalam hubungannya dengan penyerapan unsur hara, serapan N dan K mengalami penurunan. Penambahan pupuk pun tidak akan banyak membantu mengatasi penurunan hasil tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh allelopati dalam penghambatan penyerapan unsur hara terjadi dengan penurunan lajunya sedangkan serapan P meningkat 45 %. Menurut para ahli, ternyata p-coumaric ini masih dapat ditemukan pada lahan yang ditanami tiga kali beturut-turut atau lebih hingga 60 hari setelah tanaman jagung dipanen. Pengaruh sisa tanaman jagung berikutnya sampai 22 minggu setelah perombakan dan kemudian pengaruhnya akan berkurang dengan cepat. Oleh karena itu dalam membudidayakan jagung diuapayakan agar tanaman jagung tidak ditanam tiga kali berturut-turut agar kandungan p-coumaric yang membahayakan dalam tanah berkurang. Selain itu agar terjaga keseimbangan unsur hara antara yang diambil dengan yang ada.

(Bennu Hase, SP. , Techincal Agronomist Makassar)

Source : Abdi Tani

Jagung


Peta Jagung di Indonesia

Jagung

Seorang wartawan mewawancarai seorang petani untuk mengetahui rahasia di balik buah jagungnya yang selama bertahun-tahun selalu berhasil memenangkan kontes perlombaan hasil pertanian. Petani itu mengaku ia sama sekali tidak memiliki rahasia khusus karena ia selalu membagi-bagikan bibit jagung terbaiknya pada tetangga-tetangga di sekitar perkebunannya.

“Mengapa anda membagi-bagikan bibit jagung terbaik itu pada tetangga-tetangga anda? Bukankah mereka mengikuti kontes ini juga setiap tahunnya?”, tanya sang wartawan.
“Tak tahukah anda?”, jawab petani itu. “Bahwa angin menerbangkan serbuk sari dari bunga-bunga yang masak dan menebarkannya dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila tanaman jagung tetangga saya buruk, maka serbuk sari yang ditebarkan ke ladang saya juga buruk. Ini tentu menurunkan kualitas jagung saya. Bila saya ingin mendapatkan hasil jagung yang baik, saya harus menolong tetangga saya mendapatkan jagung yang baik pula.”

Begitu pula dengan hidup kita. Mereka yang ingin meraih keberhasilan harus menolong tetangganya menjadi berhasil pula. Mereka yang menginginkan hidup dengan baik harus menolong tetangganya hidup dengan baik pula. Nilai dari hidup kita diukur dari kehidupan-kehidupan yang disentuhnya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Produksi Padi, Jagung dan Kedelai di Provinsi Sulawesi Selatan (ATAP 2006-2007 dan ARAM II 2008)


Tuesday, 01 July 2008
1. Padi
  • Angka Tetap (ATAP) tahun 2006, produksi padi pada Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 3,37 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), yang terdiri dari padi sawah 3,35 juta ton dan padi ladang 0,02 juta ton.
  • Angka Tetap (ATAP) tahun 2007, produksi padi pada Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 3,64 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), yang terdiri dari padi sawah 3,62 juta ton dan padi ladang 0,02 juta ton.
  • Angka Ramalan II (ARAM II) 2008 produksi padi pada tahun 2008 Provinsi Sulawesi Selatan diperkirakan sebesar 3,87 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), yang terdiri dari padi sawah 3,85 juta ton dan padi ladang 0,02 juta ton.
  • Jika dibandingkan antara ATAP 2006 dan ATAP 2007 produksi padi di Provinsi Sulawesi Selatan mengalami peningkatan sebesar 269,63 ribu ton GKG (naik 8,01 persen). Peningkatan produksi padi disebabkan oleh meningkatnya luas panen sebesar 50,89 ribu hektar (7,07 persen) dan juga produktivitas sedikit mengalami peningkatan sebesar 0,41 kuintal/perhektar (0,88 persen). Sedangkan pada tahun 2008 (ARAM II) diperkirakan produksi padi meningkat lagi sebesar 239,12 ribu ton (6,58 persen).

2. Jagung
  • Angka Tetap (ATAP) 2006 produksi jagung pada tahun sebesar 696,08 ribu ton pipilan kering, dengan luas panen 206,39 ribu hektar dan produktivitas 33,73 kuintal setiap hektar
  • Angka Tetap (ATAP) 2007 produksi jagung pada tahun sebesar 969,96 ribu ton pipilan kering, Dibandingkan produksi tahun 2006 terjadi peningkatan sebesar 273,87 ribu ton (39,34) persen. Kenaikan produksi disebabkan oleh meningkatnya luas panen 56,05 ribu hektar (27,16 persen) dan juga produktivitas naik 3,23 kuintal perhektar.
  • Angka Ramalan II (ARAM II) 2008 produksi jagung sebesar 994,98 ribu ton pipilan kering. Dibandingkan produksi tahun 2007, terdapat peningkatan sebesar 25,03 ribu ton pipilan kering (2,58 persen). Kenaikan produksi disebabkan oleh naiknya produktivitas sebesar 1,08 kuintal perhetar, sedangkan luas panen justru turun sebesar 0,95 ribu hektar (-0,36 persen)

3. Kedelai
  • Angka Tetap (ATAP) 2006, produksi Kedelai pada sebesar 22,24 ribu ton biji kering, dengan luas panen 14,19 ribu hektar dan produktivitas 15,68 kuintal setiap hektarnya.
  • Angka Tetap (ATAP) 2007 produksi jagung pada tahun sebesar 18,97 ribu ton pipilan kering, Dibandingkan produksi tahun 2006 terjadi penurunan sebesar 3,27 ribu ton (-14,70 persen). Turunnya produksi disebabkan oleh turunnya luas panen 2,16 ribu hektar (-15,22 persen) tapi produktivitas sedikit melami peningkatan yaitu naik 0,10 kuintal perhektar (0,61 persen).
  • Angka Ramalan II (ARAM II) 2008 produksi Kedelai diperkirakan sebesar 26,25ribu ton biji Kering. Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2007, terjadi kenaikan sebesar 7,28 ribu ton (38,35 persen). Kenaikan produksi diikuti oleh kenaikan luas panen sebesar 3,6 0ribu hektar (29,89 persen) dan produktivitas 1,03 kuital perhektar (6,51 persen).


Source : http://sulsel.bps.go.id

Produktivitas Meningkat, Indonesia Siap Jadi Net-Eksportir Jagung

JAKARTA - Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyakini Indonesia segera menjadi net-eksportir jagung dengan cara meningkatkan produktivitas pada lahan yang ada saat ini. “Sekarang produktivitasnya baru 3,7 ton per hektar pada luas panen 3,6 juta hektar. Kalau produktivitasnya meningkat saja antara 4-5 ton per hektar, maka Indonesia siap jadi net-eksportir,” ujar Mentan Anton Apriyantono saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Peranan Jagung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Jakarta, Rabu (28/5).

Menurut Mentan, peningkatan produksi jagung sangat terkait dengan benih. Hingga kini baru 40 % benih yang digunakan adalah hibrida yang peningkatan produksinya sangat memadai. Bila seluruh benih komposit tergantikan dengan hibrida, maka kenaikan produksi akan terjadi dan pada akhirnya kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi secara keseluruhan dan terdapat kelebihan yang bisa digunakan untuk ekspor.

“Tahun ini, kita targetkan adanya kenaikan produksi hingga 20% sehingga total produksi kita 15,9-16,5 juta ton. Jumlah ini meningkat jauh dari tahun lalu yang 13,26 juta ton. Peningkatan produksi tersebut dengan peningkatan produktivitas 4-4,2 ton per hektar,” ujar Mentan.

Dengan asumsi capaian produksi tersebut tercapai, maka Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai net-eksportir mengingat kebutuhan dalam negeri, terutama industri pakan ternak yang hanya mencapai 8,13 juta ton. Dengan demikian, terdapat kelebihan kebutuhan yang mencapai 7,5-8,5 juta ton. Bila kelebihan tersebut diserap untuk kebutuhan lain dalam negeri mencapai 2 juta ton, maka terdapat 5 juta ton yang bisa diekspor. Dalam catatan, negara-negara importer yang sampai saat ini membutuhkan jagung antara lain Malaysia, Jepang, dan India. Bahkan, Jepang setiap tahunnya membutuhkan jagung hingga 16 juta ton.

Selain persoalan benih, Mentan juga mengungkapkan peningkatan produsi jagung nasional juga dilakukan melalui perluasan areal lahan, terutama lahan kering dan juga lahan-lahan perkebunan milik swasta maupun perhutani atau inhutani. “Masih banyak lahan potensial yang bisa dioptimalkan dalam rangka meningkatkan produksi nasional,” tegas Mentan.

Di bagian lain, Mentan mengakui masih terjadi kesenjangan antara daerah penghasil dan pengguna jagung di Indonesia. Kondisi ini menjadi sebab antara pasokan dan produksi akhir dari jagung, yang mayoritas menjadi pakan ternak, tak sebanding. “Yang pasti harga pakan menjadi lebih mahal dibanding bila antara daerah produsen jagung juga menjadi daerah produsen pakan,” ujar Mentan.

Untuk mengatasinya, Mentan mengungkapkan bila Deptan telah berupaya membuat silo-silo atau tempat penyimpanan jagung di berbagai daerah produsen. “Memang sudah kita buat 39 pusat penyimpanan dan penggilingan, namun jumlah itu tidak memadai dengan kapasitas produksi yang terus meningkat. Oleh karena itu, kita berharap jumlah pusat penyimpanan ini bisa bertambah sehingga memperpendek jalur distribusi dari wilayah produsen ke wilayah yang membutuhkannya,” papar Mentan.

Hingga kini, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung menjadi wilayah produsen jagung nasional. Masing-masing menghasilkan 40%, 21%, dan 12% dari produksi nasional. Sementara, Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang diharapkan menjadi wilayah utama penghasil jagung baru menghasilkan 7% dan 3% produksi nasional. **

Source : http://antonapriyantono.com

Jagung antara Pangan, Pakan, & Energi


Oleh trubusid




Berakhirnya masa ujian nasional 2008 bukan berarti kesibukan Mukhlis SPd sebagai guru berkurang. Pada Juni 2008 mendatang kesibukannya justru bakal bertambah. Saat itulah ia memanen 11.700 ton jagung pipil kering dari lahan 1.300 ha. Dengan harga jual Rp1.900/kg, setidaknya Rp22-miliar akan mengalir ke rekeningnya.

Jagung sebanyak itu memang bukan diperoleh dari lahan pribadinya. Mukhlis bermitra dengan 650 pekebun lain di Kecamatan Labangka, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Guru di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Kecamatan Labangka itu membantu menyediakan modal produksi bagi para pekebun. Hasil panen seluruhnya dibeli Mukhlis dengan harga Rp1.700/kg untuk jagung berkadar air 20%.

Jagung itu kemudian dikeringkan hingga berkadar air 17%, lalu dijual kepada pembeli asal Surabaya dengan harga Rp1.900/kg. Mukhlis hanya mengutip laba Rp200/kg. Total keuntungan yang diraih mencapai Rp2-miliar/musim tanam.

Harga naik

Keuntungan berlimpah sejatinya tak hanya dinikmati Mukhlis. Para pekebun juga menikmati manisnya perniagaan jagung. Dengan biaya produksi Rp2-juta/ha, pekebun memanen rata-rata 9 ton jagung pipil kering/ha. Bila harga jual jagung berkadar air 20% di tingkat pekebun Rp1.700/kg, pekebun meraup omzet hingga Rp15,3-juta/musim tanam. Setelah dikurangi biaya produksi, pekebun memperoleh pendapatan Rp13,3-juta/musim tanam (4 bulan) atau Rp3,3-juta/bulan.

Beberapa bulan terakhir para pekebun jagung memang tengah berbulan madu. Harga yang terus menanjak menjadi alasan para pekebun berbondong-bondong membudidayakan Zea mays. Menurut data Subdirektorat Pasar Domestik Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, dalam kurun 1998-2004 harga jagung nasional memang cenderung meningkat.

Harga sempat anjlok yakni Rp1.083/kg pada 2000. Namun, naik kembali menjadi Rp1.590 pada 2001 dan Rp2.139 pada 2004. Menurut Novia Edi Maharanto, dari divisi business analyst fieldcrop PT Tanindo Subur Prima, pada Februari 2008 harga jagung Rp2.500/kg. Bahkan di beberapa daerah sampai menyentuh harga Rp2.800.

Oleh sebab itulah areal tanam jagung di berbagai daerah terus bertambah. Salah satu contoh di Jawa Timur. Pada 2006, luas areal tanam di provinsi penghasil jagung terbesar di tanahair itu mencapai 1.099.184 ha dengan jumlah produksi 4.011.182 ton/tahun. Jumlah itu meningkat menjadi 1.153.496 ha dengan produksi 4.252.182 ton/tahun atau naik 241.000 ton pada 2007.

Permintaan tinggi

Bertambahnya luas areal tanam menjadi berkah bagi produsen benih. Menurut Doddy Wiratmoko, dari divisi market development fieldcrop PT Tanindo Subur Prima, volume penjualan benih pada 2006 hanya 10.000 ton. Pada 2007 meningkat hingga 19.800 ton. 'Kenaikannya hampir 2 kali lipat,' ujarnya. Pantas bila PT BISI Internasional Tbk berencana menyiapkan benih hingga 40.000 ton pada 2008. Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan benih pada penanaman seluas 2-juta hektar.

Lalu, mengapa harga jagung terus meroket? Handoyo, ketua Masyarakat Agribisnis Jagung Kabupaten Sumbawa, menuturkan tingginya harga jagung seiring derasnya permintaan dari industri pakan dan makanan. Produsen pakan ternak, konsumen jagung terbesar di tanahair. Mereka menyerap hingga 50% dari total produksi jagung nasional. 'Pembeli dari Surabaya bahkan sampai membangun gudang penyimpanan di Sumbawa,' katanya. Padahal, Jawa Timur gudangnya jagung nasional. Itu artinya, pasokan dari para pekebun di sana masih kurang sehingga mesti mendatangkan dari luar.

Kencangnya permintaan jagung di tanahair ditengarai akibat melambungnya harga jagung dunia. Harga jagung internasional per 9 Januari 2008 mencapai US$325/ton atau Rp3.072/kg. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga pada 2004 yang hanya US$90,37/ton atau Rp854/kg.

Harga minyak

Tingginya harga jagung dunia keruan saja membuat gonjang-ganjing industri pengolah jagung seperti produsen pakan ternak. Maklum, selama ini mereka juga mengandalkan pasokan impor. Untuk menekan biaya produksi, mereka akhirnya berpaling ke jagung lokal yang harganya lebih murah.

Harga jagung dunia yang semakin tinggi itu tak lepas dari efek domino melambungnya harga minyak dunia. Harga minyak mentah yang mencapai lebih dari US$100/barel mendorong beberapa negara untuk mengembangkan bahan bakar alternatif seperti bioetanol.

Menurut Dr M Arief Yudiarto, peneliti Balai Besar Teknologi Pati, jagung salah satu bahan baku yang potensial karena mengandung pati 60-70%. Seliter bioetanol dapat dihasilkan dari 2,5 kg jagung. Rendemen bioetanol dari jagung paling tinggi dibandingkan dengan bahan baku lain seperti tetes tebu alias molase. Untuk menghasilkan seliter bioetanol diperlukan 4 kg molase.

Itulah sebabnya 53% dari jumlah produsen bioetanol di dunia menggunakan jagung sebagai bahan baku. Salah satunya Amerika Serikat. Pada 2007, sebanyak 24% dari total konsumsi jagung di Amerika digunakan untuk memproduksi bioetanol.

Menggunakan jagung sebagai bahan baku energi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi jagung sangat potensial karena memiliki rendemen tinggi. Di sisi lain pasokan bahan baku berkompetisi dengan kebutuhan pangan dan pakan. Meningkatnya harga jagung bisa berimbas pada harga pangan dan hasil ternak. Bioetanol dituding bakal memicu krisis pangan.

Mahal

Di Indonesia jagung memang belum populer digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pemakaian bioetanol berbahan jagung kurang efisien karena harganya lebih mahal daripada premium. Itu lantaran harga jagung cukup tinggi yakni Rp2.300/kg. Jadi untuk bahan baku saja menghabiskan biaya Rp5.750/liter, belum lagi ditambah biaya produksi. Sementara harga premium hanya Rp4.500/liter. Di Amerika harga setinggi itu tergolong murah karena harga bensin di sana setara Rp8.464/liter.

Meine van Noordwijk PhD, koordinator regional International Centre for Research Agroforestry (ICRAF), mewanti-wanti sebaiknya Indonesia jangan tergiur mengikuti jejak Amerika Serikat menggunakan jagung untuk bioetanol. Anggota famili Poaceae itu lebih rakus nitrogen. Menurut Committee on Water Implications of Biofuels Production, Water Science and Technology Board, Division on Earth and Life Studies, National Research Council Amerika Serikat, jagung membutuhkan pasokan nitrogen hingga 150 kg/ha dan 50 kg fosfor/ha.

Jumlah itu jauh lebih tinggi ketimbang kedelai untuk bahan baku biodiesel yang hanya membutuhkan 10 kg nitrogen/ha dan 20 kg fosfor. 'Padahal, untuk menghasilkan nitrogen dalam bentuk Urea diperlukan energi yang sangat tinggi,' kata Meine. Oleh karena itu Amerika kini tengah menjajaki pembuatan bioetanol berbahan serat. Jadi, bukan biji jagungnya yang diolah, melainkan tongkol, kulit, dan batang jagung. (Imam Wiguna/Peliput: Andretha Helmina, Niken Anggrek Wulan, dan Vina Fitriani)

Source : http://www.trubus-online.co.id

Momentum Emas Petani Jagung

M Dindien Ridhotulloh

(Istimewa)

INILAH.COM, Jakarta - Stok jagung dunia terus merosot. Jumlah prak sepadan dengan permintaan. Sesungguhnya, kondisi ini bisa menjadi momentum emas bagi bangkitnya budidaya tanaman jagung di Tanah Air. Apalagi, harganya pun sedang bagus.

Saat ini, stok jagung dunia hanya mencukupi kebutuhan untuk 48 hari akibat tingginya permintaan dari industri bahan campuran utama ethanol, biofuel, pakan ternak hingga pangan olahan. Otomatis, harganya juga terus naik.

“"Keterbatasan produksi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan permintaan ini sebetulnya dapat dijadikan momentum emas untuk peningkatan produksi jagung nasional," ujar Siswono Yudo Husodo, Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sabtu (17/5) di Jakarta.

Dalam setahun terakhir, harga jagung melonjak 69%. Gagal panen dan kenaikan harga jagung diprediksi memperburuk stok pangan global yang diawali dengan menurunnya ekspor beras dari Mesir, India, dan Vietnam.

Harga jagung di pasar internasional seperti dikutip Bloomberg, Sabtu (17/5), sudah mencapai US$ 591 per bushel. Naiknya harga jagung dunia ikut mendongkrak harga jagung lokal.

"Kondisi semacam ini sangat menguntungkan petani. Harga jual jagung pipilan kering saat ini mencapai Rp 2.000 per kilogram. Keuntungan yang sangat baik," tambah Siswono.

Saat ini, biaya produksi untuk bertanam jagung per hektare berkisar Rp 3,5 juta. Jika rata-rata produksi 8 ton per hektare, pendapatan petani atau pengusaha setelah dikurangi biaya produksi mencapai Rp 12,5 juta.

Melihat jumlah modal yang cukup besar, tampaknya, masih perlu peran swasta agar Indonesia bisa menjadi produsen jagung dunia dengan menggenjot target perluasan tanam dan produktivitasnya.

ASEAN Business Manager DuPont Andy Gumala menambahkan, kondisi yang terjadi pada komoditas jagung ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi, hal ini sudah berlangsung tiga tahun. Idealnya, stok jagung dunia cukup untuk satu musim tanam.

Dalam kondisi seperti sekarang, mudah terjadi keguncangan harga jagung di pasar dunia. Saat ini, produksi cenderung tetap akibat terbatasnya perluasan lahan, padahal permintaan justru meningkat.

Pada 2007, produksi jagung dunia mencapai 770 juta ton, sementara konsumsi 774 juta ton. China yang sebelumnya eksportir jagung, tahun lalu mulai mengimpor 1 juta ton, Malaysia mengimpor 5 juta ton, Indonesia 1 juta ton, Taiwan 1 juta ton.

Kebutuhan importasi jagung untuk negara-negara di Asia tahun lalu 35 juta ton yang dipasok dari negara Brasil, Argentina, dan AS. Potensi perluasan lahan, menurut Andy, hanya bisa dilakukan di hutan Amazon dan Indonesia. Di luar wilayah itu sulit.

Jagung saat ini jadi sumber pangan manusia, pakan ternak, dan prioritas utama untuk dikonversi sebagai sumber bioenergi (green oil). Ketiganya harus dipenuhi secara bersamaan sehingga salah satu dikorbankan.

Ketika perhatian penggunaan jagung sebagai sumber bioenergi digalakkan di dunia dan Indonesia, fungsi jagung sebagai bahan pakan ternak terpaksa dikorbankan untuk dialihfungsikan ke kendaraan, pabrik, dan listrik.

Departemen pertanian AS (USDA, United States Department of Agriculture) memperkirakan, kebutuhan etanol terus meningkat sampai 2010. Target produksi biofuel pada 2010 direncanakan 35 miliar galon.

Lebih dari 30% produksi jagung AS akan disedot ke industri biofuel. Tidak heran jika harga jagung terus meningkat. AS sedang mempertimbangkan prioritas pemanfaatan jagung untuk menjadi bahan pangan atau biofuel.

Artinya, masih besar peluang Indonesia menggenjot budidaya jagung mengingat permintaan pasar yang akan terus meningkat. Karenanya, jangan terlena. Jangan sia-siakan kesempatan emas di depan mata. [I3]

Source : inilah.com

Perakitan Varietas Jagung Hibrida

Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Disamping itu, jagung juga merupakan bahan pakan, bahan ekspor nonmigas dan bahan baku industri (Subandi et al., 1998).

Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dari varietas bersari bebas (Morris, 1995). Selain itu, varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar dibandingkan varietas bersari bebas (Wong, 1991).

Jagung hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih galur murni (Singh, 1987) dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas, tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni (Agrawal, 1997). Komersialisasi jagung hibrida sudah dimulai sejak tahun 1930, namun penanaman jagung hibrida secara luas (ekstensif) di Asia baru dimulai pada tahun 1950-1960. Di sebagian besar negara berkembang, 61% dari lahan pertananaman jagung masih ditanami varietas bersari bebas (CIMMYT, 1990). Hal ini dimungkinkan karena varietas bersari bebas lebih mampu beradaptasi pada kondisi lahan marginal (Pallival dan Sprague, 1981).

Meskipun demikian, varietas jagung hibrida telah memberikan hasil yang memuaskan di sebagian negara-negara berkembang, terutama di negara-negara yang sudah memiliki industri benih swasta. Varietas hibrida memiliki keunggulan dibandingkan dengan varietas bersari bebas, diantaranya mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dan memiliki karakteristik baru yang diinginkan seperti ketahanan terhadap penyakit. Selain itu, penampilan varietas hibrida lebih seragam (Morris, 1995), dimana varietas bersari bebas pada umumnya memiliki keragaman yang tinggi pada karakteristik tongkol dan biji (Agrawal, 1997).

Source : http://willy.situshijau.co.id/2008/04/20/perakitan-varietas-jagung-hibrida/

Jagung, antara bahan makanan dan biofuel

Amerika sedang mempertimbangkan prioritas pemanfaatan jagung untuk menjadi bahan pangan atau untuk biofuel. Seiring dengan tuntutan pelestarian lingkungan, Amerika meningkatkan produksi bahan bakar nabati (biofuel) dengan pemanfaatan jagung. Peningkatan pemanfaatan jagung untuk biofuel ternyata berdampak pada berkurangnya pasokan untuk menunjang pertanian dan peternakan.

Jagung, menjadi andalan Amerika untuk memproduksi biofuel. Produksi jagung Amerika tersedot ke kilang minyak biofuel. Padahal selama ini jagung menjadi kebutuhan untuk pertanian dan bahan pakan. Sapi-sapi Amerika sejak lama dibiakkan dengan pemberian jagung, sebagai pakan ternak. Karena itu, ketika produksi jagung beralih menjadi bahan baku biofuel, harga jagung Amerika naik, dan para peternak sapi terkena imbasnya.

Kecendrungan yang ada adalah bahan bakar minyak meningkat tajam, sehingga kebutuhan biofuel juga ikut naik. Kenaikan itu dengan sendirinya menjadi penyebab kenaikan harga jagung. Sisi lain dari kenaikan harga jagung di Amerika adalah banyaknya petani Amerika yang beralih dari menanam kedelai menjadi menanam jagung. Produksi kedelai merosot, maka harganya menjadi naik. Konon inilah salah satu penyebab harga kedelai di Indonesia ikut naik, karena selama ini Indonesia mengimpor kedelai dari Amerika.

Kembali soal pilihan prioritas untuk biofuel atau untuk stok pangan. Kenaikan harga jagung menyebabkan para peternak Amerika mengurangi ternak sapi. Tentu saja akibatnya harga daging menjadi naik. Untuk diketahui, harga komoditas pertanian di Amerika ditentukan oleh keseimbangan “supply-demand”, jadi bila pasokan menipis maka akibatnya harga menjadi naik.

Departemen pertanian Amerika (USDA, United States Department of Agriculture) memperkirakan bahwa kebutuhan etanol Amerika akan terus meningkat sampai tahun 2010. Target produksi biofuel pada tahun 2010 menurut rencana sebesar 35 miliar galon. Untuk mendukung ini lebih dari 30 persen produksi jagung Amerika akan disedot ke industri biofuel. Tidak heran kalau harga jagung akan terus meningkat. Persaingan kebutuhan bahan bakar nabati dan kebutuhan pangan akan terus terjadi, sampai suatu saat ada intervensi, atau tercapai keseimbangan yang wajar. Pelestarian lingkungan dengan pemanfaatan biofuel, memang menempuh jalan berliku untuk bisa difahami dan diterima banyak orang.

Source : http://www.togarsilaban.com/2008/04/01/jagung-antara-bahan-makanan-dan-biofuel/