Perakitan Varietas Jagung Hibrida

Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi, mengingat terbatasnya sumber daya terutama lahan dan irigasi. Jagung merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan. Disamping itu, jagung juga merupakan bahan pakan, bahan ekspor nonmigas dan bahan baku industri (Subandi et al., 1998).

Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dari varietas bersari bebas (Morris, 1995). Selain itu, varietas hibrida menghasilkan biji yang lebih besar dibandingkan varietas bersari bebas (Wong, 1991).

Jagung hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan dua atau lebih galur murni (Singh, 1987) dan memiliki perbedaan keragaman antar varietas, tergantung dari tipe hibridisasi dan stabilitas galur murni (Agrawal, 1997). Komersialisasi jagung hibrida sudah dimulai sejak tahun 1930, namun penanaman jagung hibrida secara luas (ekstensif) di Asia baru dimulai pada tahun 1950-1960. Di sebagian besar negara berkembang, 61% dari lahan pertananaman jagung masih ditanami varietas bersari bebas (CIMMYT, 1990). Hal ini dimungkinkan karena varietas bersari bebas lebih mampu beradaptasi pada kondisi lahan marginal (Pallival dan Sprague, 1981).

Meskipun demikian, varietas jagung hibrida telah memberikan hasil yang memuaskan di sebagian negara-negara berkembang, terutama di negara-negara yang sudah memiliki industri benih swasta. Varietas hibrida memiliki keunggulan dibandingkan dengan varietas bersari bebas, diantaranya mampu berproduksi lebih tinggi 15 - 20% dan memiliki karakteristik baru yang diinginkan seperti ketahanan terhadap penyakit. Selain itu, penampilan varietas hibrida lebih seragam (Morris, 1995), dimana varietas bersari bebas pada umumnya memiliki keragaman yang tinggi pada karakteristik tongkol dan biji (Agrawal, 1997).

Source : http://willy.situshijau.co.id/2008/04/20/perakitan-varietas-jagung-hibrida/

Jagung, antara bahan makanan dan biofuel

Amerika sedang mempertimbangkan prioritas pemanfaatan jagung untuk menjadi bahan pangan atau untuk biofuel. Seiring dengan tuntutan pelestarian lingkungan, Amerika meningkatkan produksi bahan bakar nabati (biofuel) dengan pemanfaatan jagung. Peningkatan pemanfaatan jagung untuk biofuel ternyata berdampak pada berkurangnya pasokan untuk menunjang pertanian dan peternakan.

Jagung, menjadi andalan Amerika untuk memproduksi biofuel. Produksi jagung Amerika tersedot ke kilang minyak biofuel. Padahal selama ini jagung menjadi kebutuhan untuk pertanian dan bahan pakan. Sapi-sapi Amerika sejak lama dibiakkan dengan pemberian jagung, sebagai pakan ternak. Karena itu, ketika produksi jagung beralih menjadi bahan baku biofuel, harga jagung Amerika naik, dan para peternak sapi terkena imbasnya.

Kecendrungan yang ada adalah bahan bakar minyak meningkat tajam, sehingga kebutuhan biofuel juga ikut naik. Kenaikan itu dengan sendirinya menjadi penyebab kenaikan harga jagung. Sisi lain dari kenaikan harga jagung di Amerika adalah banyaknya petani Amerika yang beralih dari menanam kedelai menjadi menanam jagung. Produksi kedelai merosot, maka harganya menjadi naik. Konon inilah salah satu penyebab harga kedelai di Indonesia ikut naik, karena selama ini Indonesia mengimpor kedelai dari Amerika.

Kembali soal pilihan prioritas untuk biofuel atau untuk stok pangan. Kenaikan harga jagung menyebabkan para peternak Amerika mengurangi ternak sapi. Tentu saja akibatnya harga daging menjadi naik. Untuk diketahui, harga komoditas pertanian di Amerika ditentukan oleh keseimbangan “supply-demand”, jadi bila pasokan menipis maka akibatnya harga menjadi naik.

Departemen pertanian Amerika (USDA, United States Department of Agriculture) memperkirakan bahwa kebutuhan etanol Amerika akan terus meningkat sampai tahun 2010. Target produksi biofuel pada tahun 2010 menurut rencana sebesar 35 miliar galon. Untuk mendukung ini lebih dari 30 persen produksi jagung Amerika akan disedot ke industri biofuel. Tidak heran kalau harga jagung akan terus meningkat. Persaingan kebutuhan bahan bakar nabati dan kebutuhan pangan akan terus terjadi, sampai suatu saat ada intervensi, atau tercapai keseimbangan yang wajar. Pelestarian lingkungan dengan pemanfaatan biofuel, memang menempuh jalan berliku untuk bisa difahami dan diterima banyak orang.

Source : http://www.togarsilaban.com/2008/04/01/jagung-antara-bahan-makanan-dan-biofuel/