Produktivitas Meningkat, Indonesia Siap Jadi Net-Eksportir Jagung

JAKARTA - Menteri Pertanian Anton Apriyantono menyakini Indonesia segera menjadi net-eksportir jagung dengan cara meningkatkan produktivitas pada lahan yang ada saat ini. “Sekarang produktivitasnya baru 3,7 ton per hektar pada luas panen 3,6 juta hektar. Kalau produktivitasnya meningkat saja antara 4-5 ton per hektar, maka Indonesia siap jadi net-eksportir,” ujar Mentan Anton Apriyantono saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional Peranan Jagung dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Jakarta, Rabu (28/5).

Menurut Mentan, peningkatan produksi jagung sangat terkait dengan benih. Hingga kini baru 40 % benih yang digunakan adalah hibrida yang peningkatan produksinya sangat memadai. Bila seluruh benih komposit tergantikan dengan hibrida, maka kenaikan produksi akan terjadi dan pada akhirnya kebutuhan dalam negeri dapat terpenuhi secara keseluruhan dan terdapat kelebihan yang bisa digunakan untuk ekspor.

“Tahun ini, kita targetkan adanya kenaikan produksi hingga 20% sehingga total produksi kita 15,9-16,5 juta ton. Jumlah ini meningkat jauh dari tahun lalu yang 13,26 juta ton. Peningkatan produksi tersebut dengan peningkatan produktivitas 4-4,2 ton per hektar,” ujar Mentan.

Dengan asumsi capaian produksi tersebut tercapai, maka Indonesia sudah dapat dikatakan sebagai net-eksportir mengingat kebutuhan dalam negeri, terutama industri pakan ternak yang hanya mencapai 8,13 juta ton. Dengan demikian, terdapat kelebihan kebutuhan yang mencapai 7,5-8,5 juta ton. Bila kelebihan tersebut diserap untuk kebutuhan lain dalam negeri mencapai 2 juta ton, maka terdapat 5 juta ton yang bisa diekspor. Dalam catatan, negara-negara importer yang sampai saat ini membutuhkan jagung antara lain Malaysia, Jepang, dan India. Bahkan, Jepang setiap tahunnya membutuhkan jagung hingga 16 juta ton.

Selain persoalan benih, Mentan juga mengungkapkan peningkatan produsi jagung nasional juga dilakukan melalui perluasan areal lahan, terutama lahan kering dan juga lahan-lahan perkebunan milik swasta maupun perhutani atau inhutani. “Masih banyak lahan potensial yang bisa dioptimalkan dalam rangka meningkatkan produksi nasional,” tegas Mentan.

Di bagian lain, Mentan mengakui masih terjadi kesenjangan antara daerah penghasil dan pengguna jagung di Indonesia. Kondisi ini menjadi sebab antara pasokan dan produksi akhir dari jagung, yang mayoritas menjadi pakan ternak, tak sebanding. “Yang pasti harga pakan menjadi lebih mahal dibanding bila antara daerah produsen jagung juga menjadi daerah produsen pakan,” ujar Mentan.

Untuk mengatasinya, Mentan mengungkapkan bila Deptan telah berupaya membuat silo-silo atau tempat penyimpanan jagung di berbagai daerah produsen. “Memang sudah kita buat 39 pusat penyimpanan dan penggilingan, namun jumlah itu tidak memadai dengan kapasitas produksi yang terus meningkat. Oleh karena itu, kita berharap jumlah pusat penyimpanan ini bisa bertambah sehingga memperpendek jalur distribusi dari wilayah produsen ke wilayah yang membutuhkannya,” papar Mentan.

Hingga kini, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung menjadi wilayah produsen jagung nasional. Masing-masing menghasilkan 40%, 21%, dan 12% dari produksi nasional. Sementara, Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang diharapkan menjadi wilayah utama penghasil jagung baru menghasilkan 7% dan 3% produksi nasional. **

Source : http://antonapriyantono.com

Jagung antara Pangan, Pakan, & Energi


Oleh trubusid




Berakhirnya masa ujian nasional 2008 bukan berarti kesibukan Mukhlis SPd sebagai guru berkurang. Pada Juni 2008 mendatang kesibukannya justru bakal bertambah. Saat itulah ia memanen 11.700 ton jagung pipil kering dari lahan 1.300 ha. Dengan harga jual Rp1.900/kg, setidaknya Rp22-miliar akan mengalir ke rekeningnya.

Jagung sebanyak itu memang bukan diperoleh dari lahan pribadinya. Mukhlis bermitra dengan 650 pekebun lain di Kecamatan Labangka, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Guru di salah satu sekolah menengah pertama (SMP) di Kecamatan Labangka itu membantu menyediakan modal produksi bagi para pekebun. Hasil panen seluruhnya dibeli Mukhlis dengan harga Rp1.700/kg untuk jagung berkadar air 20%.

Jagung itu kemudian dikeringkan hingga berkadar air 17%, lalu dijual kepada pembeli asal Surabaya dengan harga Rp1.900/kg. Mukhlis hanya mengutip laba Rp200/kg. Total keuntungan yang diraih mencapai Rp2-miliar/musim tanam.

Harga naik

Keuntungan berlimpah sejatinya tak hanya dinikmati Mukhlis. Para pekebun juga menikmati manisnya perniagaan jagung. Dengan biaya produksi Rp2-juta/ha, pekebun memanen rata-rata 9 ton jagung pipil kering/ha. Bila harga jual jagung berkadar air 20% di tingkat pekebun Rp1.700/kg, pekebun meraup omzet hingga Rp15,3-juta/musim tanam. Setelah dikurangi biaya produksi, pekebun memperoleh pendapatan Rp13,3-juta/musim tanam (4 bulan) atau Rp3,3-juta/bulan.

Beberapa bulan terakhir para pekebun jagung memang tengah berbulan madu. Harga yang terus menanjak menjadi alasan para pekebun berbondong-bondong membudidayakan Zea mays. Menurut data Subdirektorat Pasar Domestik Tanaman Pangan, Departemen Pertanian, dalam kurun 1998-2004 harga jagung nasional memang cenderung meningkat.

Harga sempat anjlok yakni Rp1.083/kg pada 2000. Namun, naik kembali menjadi Rp1.590 pada 2001 dan Rp2.139 pada 2004. Menurut Novia Edi Maharanto, dari divisi business analyst fieldcrop PT Tanindo Subur Prima, pada Februari 2008 harga jagung Rp2.500/kg. Bahkan di beberapa daerah sampai menyentuh harga Rp2.800.

Oleh sebab itulah areal tanam jagung di berbagai daerah terus bertambah. Salah satu contoh di Jawa Timur. Pada 2006, luas areal tanam di provinsi penghasil jagung terbesar di tanahair itu mencapai 1.099.184 ha dengan jumlah produksi 4.011.182 ton/tahun. Jumlah itu meningkat menjadi 1.153.496 ha dengan produksi 4.252.182 ton/tahun atau naik 241.000 ton pada 2007.

Permintaan tinggi

Bertambahnya luas areal tanam menjadi berkah bagi produsen benih. Menurut Doddy Wiratmoko, dari divisi market development fieldcrop PT Tanindo Subur Prima, volume penjualan benih pada 2006 hanya 10.000 ton. Pada 2007 meningkat hingga 19.800 ton. 'Kenaikannya hampir 2 kali lipat,' ujarnya. Pantas bila PT BISI Internasional Tbk berencana menyiapkan benih hingga 40.000 ton pada 2008. Jumlah itu untuk memenuhi kebutuhan benih pada penanaman seluas 2-juta hektar.

Lalu, mengapa harga jagung terus meroket? Handoyo, ketua Masyarakat Agribisnis Jagung Kabupaten Sumbawa, menuturkan tingginya harga jagung seiring derasnya permintaan dari industri pakan dan makanan. Produsen pakan ternak, konsumen jagung terbesar di tanahair. Mereka menyerap hingga 50% dari total produksi jagung nasional. 'Pembeli dari Surabaya bahkan sampai membangun gudang penyimpanan di Sumbawa,' katanya. Padahal, Jawa Timur gudangnya jagung nasional. Itu artinya, pasokan dari para pekebun di sana masih kurang sehingga mesti mendatangkan dari luar.

Kencangnya permintaan jagung di tanahair ditengarai akibat melambungnya harga jagung dunia. Harga jagung internasional per 9 Januari 2008 mencapai US$325/ton atau Rp3.072/kg. Harga itu jauh lebih tinggi ketimbang harga pada 2004 yang hanya US$90,37/ton atau Rp854/kg.

Harga minyak

Tingginya harga jagung dunia keruan saja membuat gonjang-ganjing industri pengolah jagung seperti produsen pakan ternak. Maklum, selama ini mereka juga mengandalkan pasokan impor. Untuk menekan biaya produksi, mereka akhirnya berpaling ke jagung lokal yang harganya lebih murah.

Harga jagung dunia yang semakin tinggi itu tak lepas dari efek domino melambungnya harga minyak dunia. Harga minyak mentah yang mencapai lebih dari US$100/barel mendorong beberapa negara untuk mengembangkan bahan bakar alternatif seperti bioetanol.

Menurut Dr M Arief Yudiarto, peneliti Balai Besar Teknologi Pati, jagung salah satu bahan baku yang potensial karena mengandung pati 60-70%. Seliter bioetanol dapat dihasilkan dari 2,5 kg jagung. Rendemen bioetanol dari jagung paling tinggi dibandingkan dengan bahan baku lain seperti tetes tebu alias molase. Untuk menghasilkan seliter bioetanol diperlukan 4 kg molase.

Itulah sebabnya 53% dari jumlah produsen bioetanol di dunia menggunakan jagung sebagai bahan baku. Salah satunya Amerika Serikat. Pada 2007, sebanyak 24% dari total konsumsi jagung di Amerika digunakan untuk memproduksi bioetanol.

Menggunakan jagung sebagai bahan baku energi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi jagung sangat potensial karena memiliki rendemen tinggi. Di sisi lain pasokan bahan baku berkompetisi dengan kebutuhan pangan dan pakan. Meningkatnya harga jagung bisa berimbas pada harga pangan dan hasil ternak. Bioetanol dituding bakal memicu krisis pangan.

Mahal

Di Indonesia jagung memang belum populer digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Pemakaian bioetanol berbahan jagung kurang efisien karena harganya lebih mahal daripada premium. Itu lantaran harga jagung cukup tinggi yakni Rp2.300/kg. Jadi untuk bahan baku saja menghabiskan biaya Rp5.750/liter, belum lagi ditambah biaya produksi. Sementara harga premium hanya Rp4.500/liter. Di Amerika harga setinggi itu tergolong murah karena harga bensin di sana setara Rp8.464/liter.

Meine van Noordwijk PhD, koordinator regional International Centre for Research Agroforestry (ICRAF), mewanti-wanti sebaiknya Indonesia jangan tergiur mengikuti jejak Amerika Serikat menggunakan jagung untuk bioetanol. Anggota famili Poaceae itu lebih rakus nitrogen. Menurut Committee on Water Implications of Biofuels Production, Water Science and Technology Board, Division on Earth and Life Studies, National Research Council Amerika Serikat, jagung membutuhkan pasokan nitrogen hingga 150 kg/ha dan 50 kg fosfor/ha.

Jumlah itu jauh lebih tinggi ketimbang kedelai untuk bahan baku biodiesel yang hanya membutuhkan 10 kg nitrogen/ha dan 20 kg fosfor. 'Padahal, untuk menghasilkan nitrogen dalam bentuk Urea diperlukan energi yang sangat tinggi,' kata Meine. Oleh karena itu Amerika kini tengah menjajaki pembuatan bioetanol berbahan serat. Jadi, bukan biji jagungnya yang diolah, melainkan tongkol, kulit, dan batang jagung. (Imam Wiguna/Peliput: Andretha Helmina, Niken Anggrek Wulan, dan Vina Fitriani)

Source : http://www.trubus-online.co.id